Minggu, 14 Juli 2013

Aneka Keris Majapahit Koleksi Pribadi



 Dimaharkan Aneka Keris Koleksi Pribadi Hasil Penarikan dari Alam Gaib di Hutan di wilayah Mojokerto / Mojopahit... Antik dan Bertuah Tergantung Kebutuhan dan Kegunaannya secara umum untuk :
1.kewibawaan,karismatik,pengasihan
2.kelancaran dalam bekerja baik karyawan maupun usaha
3.keseimbangan hidup
4.kedamaian,ketentraman,kesejahteraan
Untuk saudara yang berminat silahkan dilihat dan dicek nilai Seni dan Kemampuannya..
 Mahar nego ditempat setelah proses pengecekan,
monggo kl berminat silahkan hubungi saya,
 Mulyono hp no 085655166758



Koleksi Istimewa 1 Umyang





Koleksi Istimewa 2 Umyang
 






Koleksi Istimewa 3 ( Telah Termaharkan )







Koleksi Istimewa 4






Koleksi Istimewa 5 Umyang




Kondisi Keris adalah Asli sesuai saat pertama kali ditarik dari Alam Gaib dan belum mengalami perubahan/ pencucian/ perawatan/ ruwatan

Sedikit Cerita tentang KERIS PUTHUT KEMBAR/ UMYANG
Beberapa Literatur mengatakan bahwa Umyang adalah nama seorang Empu yang hidup di jaman Pajang. Dan karena itu, sebenarnya nama Umyang bukanlah nama dapur keris. Namun meski demikian, masyarakat per-keris-an di Jawa Tengah dan Jawa Timur kerap kali atau bisa dibilang familiar dengan yang disebut sebagai keris dapur umyang. Cirinya adalah terdapat ukiran atau relief sepasang manusia (kadang disebut puthut atau badjang) di sebelah kanan dan kiri dapurnya (gandhik atau kadang di bagian wadidang). Sepasang manusia tersebut saling membelakangi – dengan posisi tangan menyembah atau menengadah. Ciri tambahan lain (tidak selalu ada) adalah terdapat tulisan huruf jawa, relief beringin, payung, dan padi kapas di bilahnya. Istilah yang baku untuk keris umyang ini sebenarnya adalah Keris Dapur Puthut (kembar). Jadi bisa dibilang bahwa keris umyang adalah istilah pasar bagi keris dapur Puthut (Kembar).

Apakah Empu Ompyang selalu (atau yang) membuat keris dapur Puthut Kembar ? Tidak bisa dipastikan demikian. Hanya saja dalam literatur-literatur disebutkan bahwa Empu Ompyang adalah seorang seorang empu yang senior, sangat mumpuni dan master piece dalam membabar pusaka. Sangat diragukan jika Beliau membuat keris pasaran sebagaimana Keris  Umpyang yang beredar di masyarakat.

Tulisan Huruf Jawa di tengah bilah keris ini terbaca Umyang Jimbe, inilah yang kemudian menjadika
n masyarakat awam menganggap keris dapur Puthut Kembar ini bernama buatan Empu Umyang. Padahal bisa diragukan jika Empu Umyang sendiri dengan jelas membubuhkan “tanda tangan” pada karyanya tersebut. Hal yang agaknya tabu dilakukan untuk orang sekelas Beliau. Terlalu kasar dan mencolok. Katakanlah seorang perlu menandai karyanya (ciri garap), biasanya dengan bahasa sandi atau simbol ataupun sengkala di bagian pesi yang tersembunyi dalam deder atau pun landeyan.

Lebih lanjut alasan yang memberatkan adalah ketidak sesuaian ricikan keris umyang dengan ciri khas (pakem) keris buatan Empu Umpyang. Jika kita membaca literature “Panangguhing Dhuwung, karya Mas Ngabehi WIRASOEKADGA, Abdi Dalem mantra pande Kadipaten Anom ing Surakarta – Adiningrat, hal 25” – disebutkan secara detail bahwa ciri ricikan keris tangguh Pajang karya Empu Ki Umyang terdiri atas : “Dhuwung ganja waridin, gulu meled menggik landhung sirah cecak dempok lancip, bangkekan sedhengan, buntut urang mekrok buweng, seblakipun sereng kacel, wasuhanipun pamor mengkoreg kira lulut, tosanipun keset sekar kacang kados gelunging wayang, jalen otot lantas lambe gajah landhung godhagan longgar mojok gandhik cekapan mayat, blumbangan lebet, sogokan landhung janur lancip, menawi luk - lukipun rengkol, menawi leres lenggahipun keder, awak-awakan pejetan, bilih ngangge ri pandan - dha (jawi) nipun cetha, bilih gandhikan – gandhikipun keder celak, tikel alis jugag ceklek”.
Lihat, tidak ada sangkut pautnya dengan ciri khas keris dapur umyang yang selama ini beredar. Bahkan jika dibandingkan dengan keterangan buku Ensiklopedi Keris karangan Bambang Harsrinuksmo tentang keris dapur putut, rupanya banyak beredar dapur putut yang telah keluar dari pakem. Menurut Bambang Harsrinuksmo keris dapur ini adalah keris bilah lurus – sedangkan yang beredar bukan hanya bilah lurus melainkan bilah luk yang sangat beragam jumlahnya.

Masih dalam kaitannya dengan Empu Omyang, dahulu sampai pertengahan abad ke-20, banyak pemilik keris umyang yang mengasapinya dengan asap kemenyan setiap malam Rabu Pon, yang dianggap sebagai hari wafatnya Empu Umyang. Pengasapan kemenyan itu dimaksudkan agar tuah keris itu terpelihara. Namun sedikit demi sedikit kebiasaan itu mulai ditinggalkan orang, hingga abad ke-21 amat jarang orang melakukan ritual semacam itu.

Ada pula yang mengatakan bahwa nama sebutan Umyang adalah sebutan bagi sepasang puthut/badjang dan “kegunaan” keris tersebut. Jenis keris umyang ada beragam. Ada Umyang Jimbe, Umyang Tagih, Umyang Beras, Umyang Panimbal, Umyang Tombak dan lain sebagainya. Melihat penamaan keris ini, bisa langsung ditebak bahwa tujuan utama sang pembuat dan pemilik keris ini berintensi mendapatkan bantuan atau pertolongan dari piandel tersebut. Umyang Jimbe dipercaya bisa membantu melancarkan usaha dan menghalau rintangan, Umyang Panimbal dipercaya bisa mendatangkan / memanggil rejeki, Umyang Tagih membantu pemiliknya menagihkan utang-utang orang lain kepadanya, bahkan Umyang Beras diyakini bisa membuat beras yang ada di tempat beras tidak akan habis. Wallahualam.

Kembali ke masalah nama – dinamakan umyang karena kedua puthut ini yang “ngumyang” (umek, sibuk, berusaha keras sambil ngomel dan berceloteh). Kata Umyang sendiri, menurut arti lain bahasa jawa adalah seseorang yang "ngumyang" atau menggigau..tidak sadar. Jadi sepasang manusia pada dapur umyang tersebut dianggap sebagai “prewangan” yang membantu pemilik pusaka tersebut melancarkan maksud-tujuannya. Rasanya logika penamaan ini cukup masuk akal.

Karena sifat dapur keris Puthut Kembar sebagaimana terurai di atas, maka sangat kuat bahwa dikalangan pecinta keris, dapur umyang lebih dimaknai sebagai benda isoteris klenik yang kental denga
n dunia perdukunan. Penggemarnya pun juga kebanyakan dari kalangan pengusaha atau pedagang. Padahal bila dicermati lebih dalam, kita bisa menggali banyak nilai filosofis keris dapur puthut kembar ini – dibandingkan sekedar berharap rejeki dari benda mati.

Mari kita coba melihat nilai-nilai tersebut karena keris sebagai hasil karya seni juga merupakan sebentuk bahasa – alat komunikasi. Bahasa adalah sarana yang membawa banyak muatan, baik muatan komunikasi, karakteristik penutur/pembuat, sampai relasi nilai yang paling substansial. Bahasa adalah sebuah simbol. Sebagai sebuah bahasa, bentuk dan gambar berbicara menunjuk tentang lambang/simbolisasi sesuatu yang mempunyai kandungan makna melampaui dirinya sendiri.
Dalam kaitannya dengan dunia pe-keris-an juga sama halnya. Keris kerap dikatakan juga sebagai alat penanda jaman / sengkalan suatu masa atau kejadian tertentu. Misal, Keris dengan kinatah Gajah Singo pada gonjo yang melambangkan sengkalan tahun 1558, pertanda berhasilnya pasukan Sultan Agung menumpas pemberontakan pragola di Pati, dan beberapa contoh keris lainnya. Dan sesungguhnya lebih dari itu, keris juga bisa mempunyai maksud pralambang atau simbolisasi. Dan ini bisa sangat jamak kita temui dalam hampir pada semua keris, termasuk pada keris dapur Puthut Kembar ini.
Puthut, dalam istilah Jawa bermakna Murid atau Santri atau Cantrik, seseorang yang berguru atau belajar ilmu (apa saja) pada seorang guru/resi/pandita dsb. Putut adalah seorang pendeta atau petapa muda (Frater?). Bentuk puthut ini konon berasal dari legenda tentang cantrik yang diminta menjaga sebuah pusaka oleh sang guru. Ia diminta untuk menjaga (berjaga), sambil terus berdoa dan memohon pertolongan serta kekuatan dari Yang Maha Kuasa.

Ada murid laki-laki ada perempuan, keduanya juga melambangkan keseimbangan dan juga perpaduan, bahwa apa yang ada di bumi ini selalu berpasang-pasangan. Ada laki-laki dan perempuan, ada siang dan malam, ada gelap dan terang, ada hitam dan putih, ada sedih dan gembira, ada yin dan yang. Pada keris dapur puthut, ini bisa kita amati bahwa bentuk wajah Puthut seolah-olah berupa orang laki-laki di bagian depan (gandik) dan perempuan di bagian belakang (wadidang). Dan keduanya tampak menggenakan gelungan ikat kepala.Posisi duduk bersimpuh (bertapa) : menengadahkan tangan seperti posisi berdoa. Sebagai murid, untuk mencapai suatu ilmu, harus menjalaninya dengan proses tirakat, semedi untuk mencapai keheningan, kebersihan batin, tawakal dan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa . Jika jiwa kita bersih, maka kita akan dengan mudah menyerap ilmu yang kita pelajari. Sebagai murid, atau orang yang sedang belajar harus bisa menjauhkan diri dari sifat sombong, congkak atau sifat merasa tahu (rumongso biso/sok tahu) Harusnya "biso rumongso". Perlu membuka wawasan, mawas diri, rendah hati, sederhana, andhap ashor dan bersedia belajar dari orang lain. Itulah laku yang harus dijalankan oleh murid / santri / cantrik di jaman dulu, kemarin, sekarang serta jaman-jaman seterusnya. Itulah pakem seorang murid.
Dengan mendalami arti relief sepasang manusia pada dapur keris tersebut maka kita akan bisa membedakan arti relief puthut dengan relief umyang. Dengan memahami dan menghayati arti yang berbeda maka kita akan mempunyai energi yang berbeda pula. Jika kita condong memahami keris tersebut sebagai “bocah ngumyang” yang lebih ke urusan rejeki atau penagihan maka energi kita juga akan lebih kemrungsung akan harta benda. Jika kita melihat sepasang bocah sebagai puthut yang nyantri / murid – maka kita akan lebih bersikap andhap asor dan mendudukkan diri sebagai murid di hadapan Yang Maha Kuasa, sesama dan lingkungan jagat yang amat luas ini.

Posisi sikap keduanya sama yaitu sama-sama tangan menengadah ke atas (atau menyembah). Keduanya sama-sama memohon ke TUHAN YME. Hanya tujuannya yang berbeda karena “spiritualitas” yang berbeda. Yang satu memohon pemahaman hidup (sejatining urip) – yang lain memohon jaminan kekayaan harta/materi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar